Ilustrasi Ustadzah Liya
Ilustrasi Ustadzah Liya

Sudah menjadi rahasia umum kalau malam Jumat adalah malam yang sakral untuk pasangan suami istri. karena di malam inilah pasangan yang sudah menikah dianjurkan untuk melakukan hubungan seksual sesuai dengan perintah agama. Biasanya banyak yang menyebutnya dengan sebutan Sunnah Rasul. Aku pun sebenarnya ikut menentukan momen ini karena sudah hampir dua minggu lamanya suamiku tidak menyentuhku sama sekali.

Kesibukannya di kantor menyita banyak waktu dan tenaga. Sehingga ketika dia di rumah, suami ku hanya menghabiskan waktu dengan tidur saja. Akan tetapi momen yang aku tunggu-tunggu itupun tampaknya harus Pupus karena suamiku tiba-tiba mengabarkan kalau dia harus

lembur di kantornya. Suamiku langsung meminta maaf kepadaku dan berjanji akan menebusnya di lain hari. Dia bahkan juga bilang kalau dirinya sudah meminta pada atasannya untuk tidak diberikan lembur di malam jumat dan malam sabtu. Aku yang sempat kecewa berat tadinyapun bisa sedikit bernafas lega. Suamiku ternyata juga merasa rindu berduaan denganku terbukti dari keinginannnya untuk tidak lembur terus-terusan. Jadi untuk sekarang aku terpaksa harus berusaha memaklumi keadaannya. Mungkin saja dia lebih merasa kesepian daripada apa yang aku rasakan karena memang kami sudah jarang melakukan hal-hal yang romantis sebagai pasangan suami istri.

“Mi, Abi boleh minta sesuatu nggak?” tanya suamiku di telepon

“Minta apaan bi?” Tanyaku.

“Umi kirimin foto bugil dong buat Abi”

Aku terkejut mendengar permintaan aneh yang tiba-tiba tersebut “Buat apaan bi?” tanyaku heran.

“Abi kangen nih sama umi” jawab suamiku.

“Iya Umi tahu, tapi kenapa harus bugil?” tanyaku penuh selidik.

“Kan ini buat suami kamu doang bukan buat orang lain.”

“Tapi kan takut Bi!!, kalau misalnya tersebar dan dilihat orang gimana?”

“Ya mana mungkin Abi lihatin sama orang mi.”

“Iya, tapi kalau temen Abi minjem HP nya Abi gimana??? Atau gak HP nya ilang?? Kan bisa bahaya Bi!!”

“Jadi Umi gak mau nih??”

“Nggak mau lah” jawabku singkat.

Suamiku tiba-tiba diam begitu saja seperti sedang kecewa dengan ketidakmauan ku. Tapi mau gimana lagi, aku takut dan risau kalau fotoku tersebar dan menjadi aib untuk keluarga. Namun di sisi lain aku juga tidak tega terhadap Suami ku sendiri dan tak mau durhaka karena tidak patuh.

Lantas setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku pun memanggil suamiku kembali “Yaudah Bi nanti aku kirimin❞ ucapku singkat.

“Beneran ya Mi?” suara suamiku bersemangat.

“Iya. Tapi Abi janji harus hati-hati, jangan sampai dilihat sama orang” ucapku memperingatkan.

“Iya sayangku. Abi janji akan berhati-hati. Kirim yang banyak ya” balasnya manja.

Kami pun kemudian berbicara sebentar sebelum suamiku berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sebelum menutup telepon, sekali lagi suamiku mengingatkanku untuk tidak lupa mengirimkan foto bugilku sesuai permintaannya tadi.

Setelah selesai menelepon, aku pun segera beranjak ke dalam kamar untuk mengambil beberapa foto selfie yang akan aku kirimkan kepada suamiku. Tapi karena aku tidak pernah melakukan selfie secara telanjang sebelumnya, akupun merasa sedikit bingung dan canggung-canggung melakukannya.

Karena itu aku memutuskan untuk tidak langsung berfoto tanpa busana terlebih dahulu. Aku hanya membuka dua buah kancing baju gamisku di bagian dada dan
memperlihatkan sedikit BHku dari luar lalu memfotonya.

Berapa menit setelah aku mengirimkannya kepada suamiku, dia pun langsung membalasnya dengan mengatakan kalau dia sangat beruntung mendapatkan istri yang cantik seperti aku.

Dan untuk pertama kalinya, aku pun begitu senang mendapat pujian dari suamiku tersebut karena selama ini dia jarang memuji-mujiku dari tampilan fisik.

Aku hanya tersenyum membaca balasannya tersebut dan kembali mengambil beberapa selfie dengan gaya dan pose yang berbeda. Kali ini aku mengangkat ujung bawah gamisku sampai ke bagian paha sehingga menampakan betis ku yang putih dan ramping. Setelah aku foto, akupun mengirimkannya kembali kepada suamiku.

Tak berapa lama suamikupun kembali membalas. Responnya pun kurang lebih sama seperti yang tadi, berbagai macam pujian dilontarkan suamiku sambil terus mengomentari betapa indahnya tubuhku ini.

Aku sampai menoleh ke arah cermin di sampingku untuk memastikan apakah yang suamiku bilang tersebut adalah benar. Aku bahkan mematut dengan seksama badanku sendiri dari arah pantulan cermin dan berpose-pose bak seorang model yang tengah mengadakan pemotretan.

Harus diakui memang kalau badanku tidak semolek atau semontok wanita-wanita diluar sana. Namun badanku terlihat proposional dengan payudara kecil dan pinggul yang
membulat kencang. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegemukan serta semuanya terlihat pas dengan wajahku.

Dengan pujian-pujian tersebut pun, lama kelamaan membuatku menjadi semakin percaya diri dan mulai berpikir bahwa sebenarnya aku memang lumayan menarik di mata lelaki. Entah perasaan darimana, aku merasa sangat bangga dengan tubuhku sendiri saat ini.

Mungkin karena itu jugalah aku mulai dilanda badai syahwat dan sedikit terangsang. Hingga tanpa malu-malu lagi aku menanggalkan seluruh pakaian yang aku kenakan satu persatu sampai dimana aku sudah sepenuhnya bertelanjang. Hanya tertinggal sebuah hijab lebar yang melilit dikepalaku saja.

Tak lama kemudian, suamiku kembali mengirim pesan sambil meminta kepadaku untuk berfoto sambil mengangkang.

Awalnya aku sedikit ragu dan protes, namun karena sudah terlanjur horny ditambah bujuk dan rayuan suamiku, aku pun mengiyakan permintaan nakalnya tersebut.

Aku menyangga HPku dengan bantal dan menyalakan timer kameranya. Setelah merasa posisinya sudah pas, akupun mundur sambil mengangkangkan kedua kakiku dengan lebar. Tak lupa tanganku secara spontan meremas payudaraku sendiri sambil membuat ekspresi menggigit bibir dan berpose ala-ala perempuan seksi.

Beberapa kali HPku berbunyi pertanda kalau fotonya sudah diambil. Lalu dengan cepat aku mengirimkannya kepada suamiku dan menunggu respon seperti apa yang akan dia berikan sambil berdebar-debar.

Namun lagi-lagi ketika aku menyaksikan foto yang kuambil barusan dengan seksama, aku terdiam dan terperangah dengan hasil foto tersebut. Aku benar-benar terlihat seperti seorang wanita yang jauh dari kategori Alim.

Padahal aku masih memakai hijabku namun aku tidak menyangka kalau aku juga bisa membuat ekspresi seperti itu. Karena dalam foto tersebut aku tampak seperti seorang wanita yang sangat-sangat binal.

Suamiku pun tampaknya juga sepemikiran denganku, selang hanya beberapa detik saja dia sudah membalas pesanku dengan kata-kata yang semakin membuatku percaya diri.

“Umi seksi banget kayak model.”

“Umi bener-bener wanita idaman laki-laki.”

“Istriku binal banget.”

Begitulah kira-kira pesan chat suamiku yang tak berhenti-henti dia kirimkan.

Dan akupun juga tak mau kalah dengan kembali mengirimkan beberapa foto bugilku dalam berbagai macam pose dan gaya.

Entah kenapa, semakin aku di puji oleh suamiku maka semakin bersemangatnya aku untuk berpose lebih liar dan menantang. Padahal sebenarnya aku hanya mengikuti instingku saja dan tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.

Badankupun tiba-tiba menjadi semakin panas dingin tak karuan, darahku berdesir hebat dan vaginaku terasa sangat-sangat gatal dan basah.

Aku mencoba menyerahkan semuanya pada naluri hewaniahku sendiri dengan menggerakkan tanganku untuk mengelus bagian luar bibir vaginaku karena terasa gatal.

Namun ketika tanganku bersentuhan dengan kulit dibagian vaginaku, aku malah merasa seperti disetrum oleh sebuah aliran listrik ringan disekujur sendi-sendi tulangku sampai aku langsung merebahkan diri diatas kasur.

Perasaan yang kudapat begitu aneh namun sangat memuaskan. Semakin aku mencoba untuk melakukan gerakan mengelus, maka semakin besar pulalah rasa nikmat yang aku terima.

Sebelum ini pun sebenarnya aku sudah pernah menyentuh bagian vaginaku sendiri. Namun untuk sekarang, rasanya 180 derajat begitu berbeda.

Saking berbedanya, aku bahkan tanpa sadar mulai merubah gerakan mengelusku menjadi sebuah gerakan menggosok-gosok dengan ritme yang lumayan kencang.

Saat itu juga mataku terpejam menahan nikmat yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan. Rasanya begitu berbeda jika dibandingkan dengan rasa nikmat yang aku terima sewaktu aku bersenggama dengan suamiku.

Tapi hanya selang beberapa saat ketika aku menikmati kegiatan baruku itu, sebuah notif muncul diatas layar hp ku dan menunjukkan kalau pesan tersebut berasal dari Mang Dedi si tukang sayur.

Aku langsung terkikik sejenak karena terbayang akan sosok laki-laki paruh baya yang belakangan ini tengah mengganggu pikiranku dengan tonjolan besar dibalik celananya itu.

Jadilah aku menunda sejenak kegiatan yang mendatangkan rasa nikmat tersebut dan langsung mengecek pesan yang ada di HP ku.

Ilustrasi Mang Dedi Tukang Sayur
Ilustrasi Mang Dedi Tukang Sayur

“Malam Mbak Liya sayang” tulis Mang Dedi di pesan WAnya dengan beberapa selipan emot-emot manja.

“Malam juga Mang Dedi sayang” balasku tak kalah mesra.

Ini adalah pertama kalinya aku memanggil Mang Dedi dengan panggilan sayang setelah sebelumnya aku menahan diri untuk tidak melakukannya.

Mungkin keadaanku yang sedang horny dan terangsang ini membuat akal sehatku sedikit buntu dan rasa malu ku berkurang. Hanya saja, rasanya begitu senang ketika aku memanggilnya dengan sebutan tersebut. Aku bahkan menahan nafasku karena saking berdebar-debarnya.

“Asik nih udah di panggil sayang. Tinggal tunggu diberi kasih sayang aja nih. Heheheheh” balas Mang Dedi dengan candaannya seperti biasa.

“Emangnya Mang Dedi mau kasih sayang dari aku?” Tanyaku lagi.

“Ya mau dong Mbak cantik”

“Nih aku kasih” balasku sambil mengirimkan sebuah foto selfie yang aku ambil dengan cepat.

Foto tersebut hanya menampakkan bagian kepalaku yang terbalut hijab dan mimik muka seperti sedang mencium.

Akupun buru-buru memejamkan mataku merasa sangat nakal ketika berbagi foto intim dengan pria lain selain suamiku. Lagi-lagi rasanya begitu mendebarkan dan anehnya membuat aku semakin merasa horny.

“Loh!! Mbak Liya kok ga pake baju?? Abis ena-ena sama suaminya ya??” Balas Mang Dedi tak berapa lama.

Sontak saja aku terlonjak kaget dengan balasannya tersebut karena Mang Dedi seakan tau kalau aku sedang dalam keadaan tanpa busana. Padahal aku cuma mengirimkan foto wajahku saja.

Baru aku ingin bertanya, Mang Dedi sudah kembali mengirim pesan. “Itu di belakang Mbak ada cermin loh. Aku bisa liat punggung sama pantatnya Mbak”

ASTAGFIRULLAHH!!!!! teriakku sangat kencang. Aku buru-buru melihat hasil jepretan ku tadi dan menyadari kalau foto wajah yang aku kirimkan kepada Mang Dedi barusan secara tidak sengaja juga menangkap cermin yang ada di belakangku. Dan cermin tersebut begitu jelas memantulkan bayangan punggung dan garis pantatku.

Aku pun dengan cepat meng-unsend foto yang aku kirim ke Mang Dedi tersebut sambil mengutuk diriku yang sangat ceroboh akibat terlalu asik berselfie. Apalagi aku malah secara tidak sengaja mengirimkan foto tubuhku kepada lelaki lain selain suamiku.

Oh tidak!!! Gimana ini??????

Baca Semua Chapter:

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 2: Maju Mundur

Chapter 2: Maju Mundur Sudah seminggu berlalu semenjak kejadian foto selfie yang tak disengaja, aku memutuskan untuk membatasi interaksiku dengan Mang Dedi. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di aplikasi WA, saya mungkin menghindar untuk berbicara dengannya untuk sementara waktu. Memang setiap kali Mang Dedi mengirim pesan WA saya, dia tidak pernah membahas sedikitpun tentang foto

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 3: Asrama

Chapter 3: Asrama Aku pun kemudian menanak nasi sekali lagi dan berencana untuk membuat sayur toge yang menjadi kesukaan suamiku setelah aku kembali dari belanja nanti. Jadi semuanya bisa sarapan dan tidak ada yang ketinggalan. Usai melakukan semua kewajibanku dan membuatkan sarapan untuk mang Dedi, aku pun kemudian memilih mandi dan membersihkan badanku yang berkeringat.

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 4: Terbawa Suasana

Chapter 4: Terbawa Suasana “Tuh kan pernah” ucap Mang Dedi dengan percaya diri. Tapi aku masih tidak terima dan protes padanya, “Iya tapikan gak sering juga” balasku sewot. “Aku yakin sering” angguk-angguk Mang Dedi menuduhku. “Mas kali yang sering begitu” balasku mengalihkan pembicaraan. “Mas, kita tida–mpphhhhh” Kata-kataku terhenti ketika Mang Dedi kembali mendaratkan ciuman bibirnya

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 5: Tak Sampai di Situ

Chapter 5 Tak Sampai disitu Saat aku terhanyut itulah tanpa kusadari tangan Mang Dedi sudah berhasil mengangkat setengah baju gamisku dan menyusup masuk kedalam celanaku yang longgar. Belum sempat aku bereaksi, tangan itu sudah dengan cekatan menyentuh permukaan vaginaku yang memang sudah basah sedari tadi. “Banjir kamu Dek Liya” komentar Mang Dedi setelah ia berhasil

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 6: Tak Puas

Chapter 6: Tak Puas “Mi!” Ucap suamiku memanggil. “Kenapa Bi??” tanyaku. Suamiku tersenyum, “Bikin adek buat Tasha yuk!!” ucapnya mendekat kearahku. “Tapi jangan berisik Bi! Nanti Tashanya bangun” balasku menunjuk kasur kecil disebelah kami tempat anakku tertidur pulas. Suamikupun menggangguk tersenyum sumringah sambil langsung memelukku kedalam dekapannya. Aku dipeluk dan dicium dengan begitu nafsu seperti

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 7: Tak Sampai

Chapter 7: Tak Sampai Dan rasa kosong itulah yang kembali mendorongku untuk merindukan sosok Mang Dedi si penjual sayur. Aku melirik ke arah suamiku yang ternyata sudah terlelap begitu saja usai bercinta denganku. Aku menggeleng tak habis pikir. Tak percaya ketika dia meninggalkanku pergi tidur begitu saja setelah aku memberikannya kenikmatan. Aku sedikit jengkel namun

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 9: Akhirnya Ku Terima

Chapter 9: Akhirnya Ku Terima Suasana ruang tamu rumahku benar-benar terasa dingin menyapu setiap pori-pori yang ada di tubuhku. Diluar sana, hujan turun begitu lebat tak menampakkan tanda-tanda untuk berhenti. Akan tetapi semuanya berbalik dengan keadaanku saat ini. Karena bukan kedingingan, aku justru malah merasa panas. Panas bercampur nafsu yang terus membara membakar birahi hewaniahku.

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 10: Ketahuan

Chapter 10: Ketahuan Kami berdua telah lupa daratan, lupa dengan norma-norma dan aturan agama serta sama-sama hanyut dalam lautan birahi masing-masing. “Ugghh… Payudaramu mantap sekali Dek Liya” Ucap Mang Dedi melanjutkan aksi mesumnya pada buah dadaku. Dengan mulutnya, Mang Dedi mulai menggigit-gigit sekitar bulatan dadaku hingga meninggalkan sedikit jejak-jejak merah. Gigitannya juga sekali-sekali hinggap di

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 11: Terselesaikan

Chapter 11: Terselesaikan “UMMI! UMI NGAPAIN!!???” Ucap putriku Tasha. Aku dan Mang Dedi terlonjak, sama-sama kaget mendengar suara Tasha yang kencang memergoki kami yang baru saja memulai persetubuhan terlarang ini. Aku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh Mang Dedi dari atasku sehingga tusukan penisnya terlepas dari dalam vaginaku begitu saja. “Ca–caca kok udah bangun?” Tanyaku bereaksi

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 12: Adik untuk Tasya

Chapter 12: Adik untuk Tasha Aku memejamkan mata, tubuh kami masih sama-sama dalam keadaan telanjang, namun Mang Dedi dengan cueknya berjalan membopongku dengan santai menuju kamar. Saat-saat seperti inilah aku mulai merasa kalau aku memang benar-benar jatuh hati dengan perlakuan Mang Dedi sebagai laki-laki. Bahkan selama 6 tahun aku menikah dengan suamiku, tak sekalipun dia

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 13: Sungguh Terharu

Chapter: 13 Sungguh Terharu Hujan sore itu sudah reda saat aku mengantarkan Mang Dedi keluar dari rumahku menuju motornya. Kami berjalan bergandengan tangan menyusuri teras rumah layaknya pesangan kekasih yang tengah dimabuk asmara. Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa, karena sudah saatnya kami kembali pada realita kami masing-masing. Mang Dedi kembali menjadi penjual sayur langgananku, dan

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 14: Berani

Chapter 14: Sangat Berani Tidak terasa, tiga hari sudah waktu berlalu semenjak persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi pada sore itu. Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malampun kulalui dengan perasaan kalut dan bingung, antara harus merasa senang atau bersalah disaat yang bersamaan. Semenjak kejadian itu pula, aku kemudian mengkondisikan hubunganku dengan Mang Dedi

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 15: Terbayang-bayang

Chapter 15: Terbayang-bayang Dalam perjalananku pulang ke rumah, aku mencoba menata hatiku yang penuh dengan rasa cemas tak terkira. Perasaan berdosa karena telah berbohong terhadap suamiku benar-benar menjadi beban buatku. Aku ingin segera bertemu dengannya untuk memastikan kalau dia tak salah paham mendengar perkataan Tasha tadi. Aneh memang karena sekarang aku tak lagi merasa bersalah

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 16: Sudah tak malu

Chapter 16: Sudah tak malu Aku tidak tau sejak kapan, yang jelas ini adalah pertama kalinya aku mulai merasakan resah karena tidak bertemu dengan Mang Dedi. Rasanya seperti disesak oleh sesuatu yang abstrak layaknya menanggung sebuah beban berat dalam hati. Sudah dua hari ini sosok itu menghilang, tak berkabar bak di telan bumi. Setiap hari

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 17: Tujuan atau Harapan?

Chapter 17: Tujuan atau Harapan? “Memang binal kamu Dek” Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng melihatku dengan tatapan tidak percaya. Aku kemudian tersentak dari ilusi birahiku sendiri sambil tertunduk malu mendengar perkataan Mang Dedi. Tak kusadari di sebelah tempat ku berdiri terdapat sebuah cermin yang memperlihatkan tubuhku dalam ketelanjangan dan ekspresi yang begitu bernafsu. “Itu aku??” tanyaku

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 18: Akankah Terulang?

Chapter 18: Akankah Terulang? Aku terlonjak kaget dari pelukan Mang Dedi saat mendengar suara ketukan pada pintu kontrakannya. Pintu tersebut di gedor begitu keras, di barengi oleh suara seorang wanita yang terdengar seperti marah-marah dengan bahasa yang sama sekali tidak aku mengerti. Segera saja ku tatap wajah Mang Dedi untuk meminta penjelasan. Namun dengan santainya

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 19: Tak peduli

Chapter 19: Tak peduli “Asalamualaikum Bi” “Waalaikumsalam Umi, Umi masih dimana? “Umi Masih dipasar bi” “Ko Lama si Umi, Abi udh laper ni” “Iya Abi bentar lagi Umi pulang kok, tunggu ya bi” Disaat aku menjawab panggilan WhatsApp Suamiku mang Dedi sempat sempatnya meraba payudaraku sehingga aku tak tahan menahan gejolak birahiku lagi dan akhirnya

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 21 – Tak Tau Malu

Chapter 21: Tak Tau Malu Selepas pulang dari kebun binatang aku, anakku dan suamiku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah karena Tasya tertidur kelihatanya Tasya merasa lelah seharian melihat lihat binatang. Sekitar pukul delapan malam akhir nya kamipun telah sampai dirumah kembali. “Abi yang Gendong tasya ke kamar ya bi….” “Iya mi, jangan lupa ya