Chapter 2: Maju Mundur

Ilustrasi Ustadzah Liya Syari
Ilustrasi Ustadzah Liya Syari

Sudah seminggu berlalu semenjak kejadian foto selfie yang tak disengaja, aku memutuskan untuk membatasi interaksiku dengan Mang Dedi. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di aplikasi WA, saya mungkin menghindar untuk berbicara dengannya untuk sementara waktu.

Memang setiap kali Mang Dedi mengirim pesan WA saya, dia tidak pernah membahas sedikitpun tentang foto tersebut. Dia hanya bertanya kenapa aku tidak lagi datang membeli dagangannya atau sekedar menanyakan kabarku.

Tapi karena aku masih dirundung rasa malu yang luar biasa, akupun hanya menjawab sekenanya dan tidak pernah bertanya balik sebagaimana aku dulu.

Namun anehnya Mang Dedi tampak tidak menyerah sama sekali untuk mengajakku berbicara dan tak peduli dengan balasan singkatku tersebut.

Setiap pukul 9 pagi, Hp ku pasti akan berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk darinya. Dan setiap pesan itu datang, pasti membuat semua rasa jenuhku hilang seketika berganti dengan senyuman.

“Pagi Mbak Liya” sapa Mang Dedi dalam pesannya.

“Pagi juga Mang” balasku singkat.

“Apa kabar hari ini??”

“Alhamdulillah baik Mang”

“Puji tuhan baguslah.. Mbak gak belanja lagi nih??

“Enggak Mang”

“Yahh.. padahal sayur saya udah kangen dibeli sama Mbak” balasnya masih dengan candaan.

“Aku juga kangen kamu Mang” Ucapku dalam hati.

Seolah aku mengerti kalau Mang Dedi sebenarnya mau bilang kangen padaku secara tidak langsung. Tapi tak berani aku menuliskannya di pesan WA tersebut karena tidak ada baiknya seorang istri berucap rindu pada laki-laki lain selain suaminya.

“Mamang boleh nanya sesuatu gak sama Mbak Liya?” Tanya Mang Dedi.

“Tanya apa?”

“Mbak Liya marah ya sama Mamang??”

“Enggak Mang, aku gak marah sama mamang” balasku.

“Tapi kok Mbak Liya kayak ngehindar gitu?”

“Aku malu Mang” balasku lagi. Mungkin inilah saatnya aku berterus terang kepada Mang Dedi agar hubungan kami tidak canggung lagi dan bisa kembali seperti semula.

Dengan cepat Mang Dedipun membalas pesanku “Loh? Mbak Liya malu kenapa?”

“Malu aja Mang, sama foto kemarin”

“Foto yang keliatan punggungnya itu?”

“Tuhkan Mamang inget” balasku.

“Ngapain malu atuh Mbak?? Mamang tau itu ga di sengaja, dan Mamang minta maaf kalau misalnya candaan Mamang kelewatan”

“Iya tapi kan malu Mang!! Mamang udah liat badan aku” balasku lagi.

“Ah. Udah sama-sama gede ini kok sayang. Kalau kamu mau, Mamang bakal foto badan Mamang juga. Biar kita impas. Gimana??”

“Ih jangan atuh Mang” balasku lagi.

Tapi dalam benakku justru malah ingin sebaliknya. Aku bahkan penasaran seperti apa badan pria paruh baya yang tiap hari bekerja keras mendorong gerobaknya tersebut.

Namun dengan cepat aku buang pikiran-pikiran kotor itu jauh-jauh. Karena sungguh itu adalah pikiran yang sangat tidak etis untuk dipikirkan oleh seorang istri sepertiku.

Di luar dugaan, aku yang jelas-jelas sudah menolak tawaran Mang Dedi tadinya malah dibuat kaget ketika dia mengirim foto selfi badannya yang hanya dibalut oleh celana boxer pendek.

“Astagfirullah” teriakku melemparkan hp ke atas kasur.

Aku menarik nafasku sebentar mencoba menenangkan diriku. Sebelum kemudian aku mengambil kembali hpku tersebut dan diam-diam memperhatikan foto badan Mang Dedi dengan sedikit rasa malu tapi mau.

Foto tersebut hanya menampakkan bagian badan Mang Dedi dari leher ke bawahnya. Namun yang menjadi fokusku saat itu justru lagi-lagi adalah tonjolan besar dibalik celana Mang Dedi yang semakin membuatku begitu penasaran.

“Mamang ih fotonya porno!” Balasku dengan secepat mungkin.

Jantungku berdegub dengan begitu cepat dan wajahku terasa panas dingin dibuatnya ketika membayangkan betapa besarnya isi di dalam celana Mang Dedi tersebut dan apakah aku bisa melihatnya secara langsung.

“Porno gimana Mbak Liyaku sayang??? Itu kan cuma foto badan Mamang” balas Mang Dedi setelahnya.

“Tapi itu ada yang nonjol di bawah Mang!” jawabku berterus terang.

Namun dengan entengnya Mang Dedi membalas pesanku, “Ahh. Kalau yang itumah Mbak Liya juga sering liat kali sama suami Mbak”

“Iya tapi gak segede itu” balasku secara tidak sadar.

Entah apa yang aku pikirkan, aku malah semakin terbawa arus untuk meladeni chat Mang Dedi yang arahnya sudah sangat ketebak ujungnya. Namun aneh aku tetap ingin melanjutkan percakapan ini meski sudah sangat melanggar normaku sebagai seorang istri dari pria lain.

Kurang lebih 3 jam lamanya sambil melepas kangen yang sudah seminggu ini aku tahan-tahan. Suasana diantara kami menjadi normal lagi seperti sedia kala karena Mang Dedi begitu pandai mencairkan suasana, menciptakan humor, rasa penasaran, penghargaan, dan pengetahuannya yang lumayan mempuni dalam banyak hal.

Sehingga lama kelamaan, akupun kembali terhanyut dalam setiap pembicaraannya yang seperti menuntutku untuk menerima tanpa memaksa. Gila. Aku rindu dengan suaranya, rindu dengan percakapan ringan bersamanya dan rindu akan sosoknya yang hangat.

Diakhir telpon akupun berkata kalau mulai besok aku akan kembali berbelanjaย di tempat Mang Dedi tanpa perlu merasa malu lagi. Dan dia sangat senang serta menantikan momen untuk bisa bertemu dan berbincang denganku.

Akhirnya kami berpamitan, aku pun menutup telfon Mang Dedi dengan perasaan puas namun meninggalkan sedikit rasa bersalah. Aku merasa sudah mengkhianati suamiku karena telah berintim dengan pria selain dirinya. Namun aku berusaha untuk membenarkan itu semua dengan percaya bahwa aku dan Mang Dedi hanya punya hubungan sebatas teman. Dan kamipun tidaklah berbuat terlalu jauh untuk dapat dikatakan sebagai sebuah perselingkuhan.

Aku tersenyum senang, kembali aku cek pesan-pesan yang dikirim oleh Mang Dedi sedari tadi sampai aku menemukan foto penis besar miliknya masih terpampang jelas dan tidak dihapusnya sama sekali.

Tiba-tiba saja darahku kembali berdesir memperhatikan benda pusaka milik si tukang sayur itu tampak begitu perkasa dan tak ada duanya. Sambil celingukan ke kanan dan kekiri, akupun menggigit bibirku sendiri seraya tanganku memencet tombol screenshoot dan menyimpan foto penis besar itu di smarphoneku.

“Lumayan buat kenang-kenangan.. Hihihihihihihihi”

Setelah kemarin siang aku kembali berbaikan dengan mang Dedi, aku menjadi tidak sabar untuk menunggu hari berganti dan kembali bertemu dengan pria yang diam-diam sudah menarik hatiku tersebut.

Pagi yang kutunggu-tunggu itu pun akhirnya datang menjelang. Aku terbangun dalam keadaan yang senang dan penuh rasa antusias luar biasa.

Kubangunkan suamiku untuk sama-sama menunaikan ibadah salat subuh berjamaah seperti yang biasa kami lakukan setiap paginya.

Setelah itu, suamiku pun memilih untuk tidur kembali. Sedangkan aku mulai melakukan pekerjaan rumah rutinku seperti menyapu halaman, menyuci baju, dan memasak sarapan pagi.

Anehnya ketika aku sedang menyiapkan bahan makanan untuk dimasak, aku malah teringat kepada sosok Mang Dedi yang pasti belum sempat sarapan. Karena setiap harinya dia berangkat lebih awal dari siapapun untuk menjajakan dagangannya.

Lalu terbesit lah dalam benakku untukย memberikannya hadiah. Itung-itung sebagai tanda permintaan maaf juga atas sikapku yang tidak mengenakkan selama seminggu terakhir.

Nasi goreng telur ceplokpun menjadi menu andalanku untuk sarapan pagi kali ini. Hanya saja porsi bahan bakunya tinggal sedikit dan terasa kurang untuk dapat dibagi kepada suamiku atau pun Mang Dedi.

Karena itulah aku memutuskan membuat sarapan khusus untuk Mang Dedi terlebih dahulu. Sebab suamiku pun masih tidur dan hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak perlu buru-buru.

Baca Semua Chapter:

Posts not found

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 2: Maju Mundur

Chapter 2: Maju Mundur Sudah seminggu berlalu semenjak kejadian foto selfie yang tak disengaja, aku memutuskan untuk membatasi interaksiku dengan Mang Dedi. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di aplikasi WA, saya mungkin menghindar untuk berbicara dengannya untuk sementara waktu. Memang setiap kali Mang Dedi mengirim pesan WA saya, dia tidak pernah membahas sedikitpun tentang foto

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 3: Asrama

Chapter 3: Asrama Aku pun kemudian menanak nasi sekali lagi dan berencana untuk membuat sayur toge yang menjadi kesukaan suamiku setelah aku kembali dari belanja nanti. Jadi semuanya bisa sarapan dan tidak ada yang ketinggalan. Usai melakukan semua kewajibanku dan membuatkan sarapan untuk mang Dedi, aku pun kemudian memilih mandi dan membersihkan badanku yang berkeringat.

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 4: Terbawa Suasana

Chapter 4: Terbawa Suasana “Tuh kan pernah” ucap Mang Dedi dengan percaya diri. Tapi aku masih tidak terima dan protes padanya, “Iya tapikan gak sering juga” balasku sewot. “Aku yakin sering” angguk-angguk Mang Dedi menuduhku. “Mas kali yang sering begitu” balasku mengalihkan pembicaraan. “Mas, kita tida–mpphhhhh” Kata-kataku terhenti ketika Mang Dedi kembali mendaratkan ciuman bibirnya

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 5: Tak Sampai di Situ

Chapter 5 Tak Sampai disitu Saat aku terhanyut itulah tanpa kusadari tangan Mang Dedi sudah berhasil mengangkat setengah baju gamisku dan menyusup masuk kedalam celanaku yang longgar. Belum sempat aku bereaksi, tangan itu sudah dengan cekatan menyentuh permukaan vaginaku yang memang sudah basah sedari tadi. “Banjir kamu Dek Liya” komentar Mang Dedi setelah ia berhasil

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 6: Tak Puas

Chapter 6: Tak Puas “Mi!” Ucap suamiku memanggil. “Kenapa Bi??” tanyaku. Suamiku tersenyum, “Bikin adek buat Tasha yuk!!” ucapnya mendekat kearahku. “Tapi jangan berisik Bi! Nanti Tashanya bangun” balasku menunjuk kasur kecil disebelah kami tempat anakku tertidur pulas. Suamikupun menggangguk tersenyum sumringah sambil langsung memelukku kedalam dekapannya. Aku dipeluk dan dicium dengan begitu nafsu seperti

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 7: Tak Sampai

Chapter 7: Tak Sampai Dan rasa kosong itulah yang kembali mendorongku untuk merindukan sosok Mang Dedi si penjual sayur. Aku melirik ke arah suamiku yang ternyata sudah terlelap begitu saja usai bercinta denganku. Aku menggeleng tak habis pikir. Tak percaya ketika dia meninggalkanku pergi tidur begitu saja setelah aku memberikannya kenikmatan. Aku sedikit jengkel namun

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 9: Akhirnya Ku Terima

Chapter 9: Akhirnya Ku Terima Suasana ruang tamu rumahku benar-benar terasa dingin menyapu setiap pori-pori yang ada di tubuhku. Diluar sana, hujan turun begitu lebat tak menampakkan tanda-tanda untuk berhenti. Akan tetapi semuanya berbalik dengan keadaanku saat ini. Karena bukan kedingingan, aku justru malah merasa panas. Panas bercampur nafsu yang terus membara membakar birahi hewaniahku.

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 10: Ketahuan

Chapter 10: Ketahuan Kami berdua telah lupa daratan, lupa dengan norma-norma dan aturan agama serta sama-sama hanyut dalam lautan birahi masing-masing. “Ugghh… Payudaramu mantap sekali Dek Liya” Ucap Mang Dedi melanjutkan aksi mesumnya pada buah dadaku. Dengan mulutnya, Mang Dedi mulai menggigit-gigit sekitar bulatan dadaku hingga meninggalkan sedikit jejak-jejak merah. Gigitannya juga sekali-sekali hinggap di

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 11: Terselesaikan

Chapter 11: Terselesaikan “UMMI! UMI NGAPAIN!!???” Ucap putriku Tasha. Aku dan Mang Dedi terlonjak, sama-sama kaget mendengar suara Tasha yang kencang memergoki kami yang baru saja memulai persetubuhan terlarang ini. Aku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh Mang Dedi dari atasku sehingga tusukan penisnya terlepas dari dalam vaginaku begitu saja. “Ca–caca kok udah bangun?” Tanyaku bereaksi

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 12: Adik untuk Tasya

Chapter 12: Adik untuk Tasha Aku memejamkan mata, tubuh kami masih sama-sama dalam keadaan telanjang, namun Mang Dedi dengan cueknya berjalan membopongku dengan santai menuju kamar. Saat-saat seperti inilah aku mulai merasa kalau aku memang benar-benar jatuh hati dengan perlakuan Mang Dedi sebagai laki-laki. Bahkan selama 6 tahun aku menikah dengan suamiku, tak sekalipun dia

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 13: Sungguh Terharu

Chapter: 13 Sungguh Terharu Hujan sore itu sudah reda saat aku mengantarkan Mang Dedi keluar dari rumahku menuju motornya. Kami berjalan bergandengan tangan menyusuri teras rumah layaknya pesangan kekasih yang tengah dimabuk asmara. Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa, karena sudah saatnya kami kembali pada realita kami masing-masing. Mang Dedi kembali menjadi penjual sayur langgananku, dan

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 14: Berani

Chapter 14: Sangat Berani Tidak terasa, tiga hari sudah waktu berlalu semenjak persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi pada sore itu. Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malampun kulalui dengan perasaan kalut dan bingung, antara harus merasa senang atau bersalah disaat yang bersamaan. Semenjak kejadian itu pula, aku kemudian mengkondisikan hubunganku dengan Mang Dedi

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 15: Terbayang-bayang

Chapter 15: Terbayang-bayang Dalam perjalananku pulang ke rumah, aku mencoba menata hatiku yang penuh dengan rasa cemas tak terkira. Perasaan berdosa karena telah berbohong terhadap suamiku benar-benar menjadi beban buatku. Aku ingin segera bertemu dengannya untuk memastikan kalau dia tak salah paham mendengar perkataan Tasha tadi. Aneh memang karena sekarang aku tak lagi merasa bersalah

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 16: Sudah tak malu

Chapter 16: Sudah tak malu Aku tidak tau sejak kapan, yang jelas ini adalah pertama kalinya aku mulai merasakan resah karena tidak bertemu dengan Mang Dedi. Rasanya seperti disesak oleh sesuatu yang abstrak layaknya menanggung sebuah beban berat dalam hati. Sudah dua hari ini sosok itu menghilang, tak berkabar bak di telan bumi. Setiap hari

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 17: Tujuan atau Harapan?

Chapter 17: Tujuan atau Harapan? “Memang binal kamu Dek” Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng melihatku dengan tatapan tidak percaya. Aku kemudian tersentak dari ilusi birahiku sendiri sambil tertunduk malu mendengar perkataan Mang Dedi. Tak kusadari di sebelah tempat ku berdiri terdapat sebuah cermin yang memperlihatkan tubuhku dalam ketelanjangan dan ekspresi yang begitu bernafsu. “Itu aku??” tanyaku

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 18: Akankah Terulang?

Chapter 18: Akankah Terulang? Aku terlonjak kaget dari pelukan Mang Dedi saat mendengar suara ketukan pada pintu kontrakannya. Pintu tersebut di gedor begitu keras, di barengi oleh suara seorang wanita yang terdengar seperti marah-marah dengan bahasa yang sama sekali tidak aku mengerti. Segera saja ku tatap wajah Mang Dedi untuk meminta penjelasan. Namun dengan santainya

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 19: Tak peduli

Chapter 19: Tak peduli “Asalamualaikum Bi” “Waalaikumsalam Umi, Umi masih dimana? “Umi Masih dipasar bi” “Ko Lama si Umi, Abi udh laper ni” “Iya Abi bentar lagi Umi pulang kok, tunggu ya bi” Disaat aku menjawab panggilan WhatsApp Suamiku mang Dedi sempat sempatnya meraba payudaraku sehingga aku tak tahan menahan gejolak birahiku lagi dan akhirnya

Ilustrasi Ustadzah Liya

Penunggang Ustadzah Liya – Part 21 – Tak Tau Malu

Chapter 21: Tak Tau Malu Selepas pulang dari kebun binatang aku, anakku dan suamiku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah karena Tasya tertidur kelihatanya Tasya merasa lelah seharian melihat lihat binatang. Sekitar pukul delapan malam akhir nya kamipun telah sampai dirumah kembali. “Abi yang Gendong tasya ke kamar ya bi….” “Iya mi, jangan lupa ya